
Dinilai Terlalu Menekankan Aspek Intelektualitas
Jakarta, Kompas - Cita-cita tokoh pendidikan sekaligus pendiri Tamansiswa,
Ki Hadjar Dewantara, belum tercapai sepenuhnya. Pendidikan saat ini
cenderung memerhatikan intelektualitas belaka dan pada akhirnya belum
memerdekakan. Tamansiswa jangan sekali-kali dipisahkan dari ajaran Ki
Hadjar Dewantara.
Hal itu dikemukakan Ketua Majelis Luhur Tamansiswa Ki Tyasno Sudarto dalam
"Sarasehan Refleksi 85 Tahun Tamansiswa sebagai Gerakan Kebangsaan" di
Jakarta, Rabu (4/7). Perguruan Tamansiswa pertama kali didirikan di
Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Pendirinya ialah Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat, yang pada usia 40 tahun berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara.
Ki Tyasno melihat, pendidikan yang lebih menekankan aspek intelektualisme
belaka pada akhirnya memisahkan antara para intelektual dan rakyatnya.
Akibat lebih jauh, mereka kurang memiliki empati pada berbagai persoalan
yang dihadapi rakyat pada umumnya.
"Pendidikan yang lebih mementingkan pikiran belaka membuat jiwa kita tidak
mendapatkan bimbingan. Jika sudah begitu, lalu bagaimana membuat anak
didik berpikiran dan berjiwa. Padahal, upaya dari pembimbingan itu adalah
agar jiwa kita merdeka. Hasil didikan model demikian pada akhirnya membuat
orang- orang terpelajar terpisah dari lingkungannya, " ujar Tyasno.
Dalam sejarahnya, terutama pada masa penjajahan, visi dan misi Perguruan
Tamansiswa antara lain sebagai pendidik bagi jiwa merdeka guna mencapai
Indonesia merdeka. Setelah masa kemerdekaan, Tamansiswa bervisi sebagai
badan perjuangan kebangsaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan
pendidikan dalam arti luas sebagai sarana utamanya. Misinya antara lain
mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mempertajam daya cipta, daya rasa,
daya karsa, dan daya karya manusia.
Ki Tyasno mengatakan, peringatan 85 tahun Tamansiswa harus bisa dijadikan
momentum sekaligus dorongan bagi warga Tamansiswa untuk menempa diri.
"Kita tidak bisa diam dan harus berjuang. Pendidikan saat ini mengalami
tantangan berat dari globalisasi. Terlebih lagi situasi dan kondisi bangsa
kita sedang terpecah, miskin, terjajah, dan tertindas. Kalau kita tidak
berjuang, kita akan hanyut. Kita harus kembali ke peradaban sendiri,
seperti dahulu Tamansiswa dengan dayanya berperan sebagai pendidikan
berjiwa merdeka," ujarnya.
Ia juga mengingatkan, bekerja menurut kekuatan sendiri merupakan salah
satu bentuk kemandirian yang terus dipelihara. "Kita tidak menolak
bantuan, tapi bantuan itu jika mengurangi kemerdekaan jiwa dan batin tetap
harus ditolak," kata Ki Tyasno.
Makna pendidikan direduksi
Pakar pendidikan Winarno Surakhmad, yang hadir dalam kesempatan itu,
mengatakan bahwa Tamansiswa merupakan gerakan perjuangan. Gerakan yang
pada masanya sangat besar itu, tambahnya, kini belakangan terdengar
samar-samar.
"Saat ini yang dibutuhkan tidak sebatas refleksi, tetapi aksi oleh
berbagai pihak untuk pendidikan," ujarnya. Dia melihat, pemerintah sendiri
sebetulnya telah mempunyai visi dan misi yang bagus, tetapi ketika harus
beraksi sepertinya tidak tahu harus melangkah ke mana.
Pemerintah terkesan mereduksi persoalan pendidikan. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, misalnya, dalam
penerapannya kemudian lebih banyak diterjemahkan sebagai sistem
persekolahan. Akibatnya, lebih banyak fokus pada urusan persekolahan,
seperti persoalan ujian nasional. Sementara hal-hal yang terkait tentang
makna pendidikan yang sebenarnya justru lupa dibicarakan. Pendidikan
kemudian lebih berbicara tentang standar-standar.
"Agar terjadi perubahan, perlu perubahan dalam cara kita mengelola
perubahan, bukan kebertahanan. Pendidikan perlu direvitalisasi supaya
dapat menjadi pemain aktif dalam memanusiakan manusia," ujarnya. (INE)
sumber :
http://www.kompas. co.id/kompas- cetak/0707/ 05/humaniora/ 3655231.htm
